Apakah Otomasi Membuat Kerja Lebih Mudah atau Justru Ribet
Beberapa pagi di akhir 2018, saya duduk di studio kecil di kawasan Kemang sambil menatap tumpukan kabel, laptop, dan dua lampu strobo yang baru saya sambungkan ke remote trigger. Klien datang jam 10:00 untuk pemotretan katalog bunga—pesanan cepat untuk toko online. Di meja kerja ada daftar instruksi panjang: 50 foto produk, setiap sudut harus konsisten, latar belakang putih, retouch minim. Di satu sisi saya bersemangat karena ada automasi yang bisa membantu; di sisi lain saya merasa cemas—apakah semua alat otomatis ini benar-benar mempercepat pekerjaan atau justru menambah lapisan masalah baru?
Awal: Ketika Otomasi Masuk ke Studio Kecilku
Saya ingat jelas momen pertama saya menggunakan tethered shooting dan preset otomatis di Lightroom. Waktu itu musim hujan 2019, dan saya harus menyelesaikan 120 foto untuk katalog kuliner dalam dua hari. Saya menghubungkan kamera ke laptop, menyiapkan preset, lalu bernapas lega. Benar saja, preset menghemat waktu, warna dasar lebih konsisten, dan tethering memungkinkan klien melihat hasil langsung. Ada rasa kemenangan singkat—seolah saya menemukan jalan pintas ahli. Tapi kemenangan itu disertai kekhawatiran kecil: apakah saya mulai kehilangan sentuhan personal pada setiap frame?
Tantangan: Ketika Otomasi Malah Membuat Ribet
Konflik nyata datang saat pemotretan produk bunga untuk sebuah klien bernama The Once Florist—iya, theonceflorist. Mereka meminta mood yang lembut, dengan highlight tipis di kelopak bunga. Saya andalkan auto white balance, auto exposure, dan plugin stacking untuk menajamkan detail. Hasil awal terlihat klinis; highlight terlalu rapi, nada kulit bunga kehilangan karakter. Saya teringat berkata pada diri sendiri, "Kenapa ini terasa datar?" Sensasi frustrasi itu nyata. Saya habiskan dua jam menonaktifkan beberapa fitur otomatis, menyesuaikan exposure secara manual, lalu mengoreksi satu per satu. Alih-alih memotong waktu, automasi itu menambah beban: troubleshooting, fallback, dan kehilangan kontrol kreatif.
Proses: Menemukan Titik Seimbang Lewat Trial and Error
Pengalaman berulang mengajari saya sesuatu penting: bukan automasi yang salah, melainkan cara dan konteks penggunaannya. Di proyek komersial besar, saya mulai membuat checklist: fungsi apa yang boleh otomatis (batch renaming, initial color grading), fungsi apa yang harus manual (white balance final, dodge & burn halus). Saya pakai teknik hybrid—preset untuk baseline, koreksi manual sebagai finishing. Contoh konkret: satu sesi e-commerce yang biasanya memakan 6 jam turun menjadi 4 jam karena saya otomatisasi cropping dan export ke beberapa ukuran, sambil tetap melakukan tweaking manual pada 10% foto terpilih yang akan dipajang di hero banner.
Selain itu, saya pelajari pentingnya dokumentasi. Setelah beberapa kali kebingungan saat pergantian asisten, saya membuat SOP sederhana: setting tether, urutan lampu, nama file, dan backup otomatis ke cloud. SOP ini menyelamatkan saya saat asisten baru masuk kerja pada Januari 2021—kesalahan diminimalkan, komunikasi jelas, dan klien pun senang. Itu pelajaran praktis: automasi efektif bila diikat dengan proses manusia yang rapi.
Kesimpulan: Otomasi sebagai Alat, Bukan Pengganti
Sekarang, saya memandang automasi seperti sawit tajam di studio: berguna untuk memotong waktu dan biaya, tapi harus dipegang oleh tangan yang berpengalaman. Automasi memudahkan tugas repetitif—batch tagging menggunakan AI menghemat 30-40 menit per sesi, focus stacking otomatis membuat image sharp tanpa ribet, dan tethering memberi klien rasa kontrol. Namun ketika automasi mengambil alih keputusan kreatif, hasilnya bisa kehilangan jiwa. Saya sering bilang ke rekan: "Biarkan mesin mengurus beban, tapi manusia yang menilai estetika."
Pembelajaran paling berharga? Buat aturan main. Tentukan kapan automasi aktif, kapan disengage, dan siapa yang bertanggung jawab jika kegagalan terjadi. Jangan takut mundur dan mengotak-atik manual ketika hasil terasa salah. Automasi bukan musuh—ia mitra yang bisa membuat kerja lebih mudah jika diatur dengan tepat. Di akhir hari, klien pulang senang, saya pulang lega, dan lampu strobo di sudut studio itu masih setia menunggu sesi berikutnya—siap menjalankan perintah, tapi tidak menggantikan rasa ingin tahu dan intuisi manusia yang membuat foto benar-benar hidup.